Tonton, like, dan sebar link video Youtube ini yah, buat Good Day video competition #RasanyaGini. Thanks!
Watch and like!
Tonton, like, dan sebar link video Youtube ini yah, buat Good Day video competition #RasanyaGini. Thanks!
Diposting oleh Fairuz di 06.14 0 komentar
Berpaling Muka
Minggu, 05 Agustus 2012
Label:
share
Hai!
Sampai kemarin, aku pecandu Blogger selama bertahun-tahun, dan sekarang aku mencoba berpaling muka ke WordPress. Entah kenapa, mungkin karena sering main-main ke WordPress seseorang dan melihat tampilannya yang enak dibaca.
Yo, mulai sekarang silakan tengok rumahku di Wordpress: http://faraulias.wordpress.com .
Diposting oleh Fairuz di 05.59 0 komentar
#CerpenPeterpan - Biarkan ( Tak Menjadi Milikku )
Kamis, 02 Agustus 2012
Label:
#cerpenpeterpan,
fiksi
“Ini aja, Mas?”
“Iya. Sama rokoknya satu deh Mbak, iya.. yang itu.”
Hari Minggu, hari dimana seharusnya orang-orang seumuranku pergi kencan atau hang out. Dan aku malah nangkring di mini market, sendiri.
Tapi ya udahlah, daripada gak ada kerjaan dan tambah suntuk. Mending jalan ke luar ngecengin cewek-cewek cantik, siapa tau ada yang kegaet. Pikirku.
“28.000, Mas.” Suara wanita di balik meja kasir itu mengalihkan aku dari lamunanku.
Aku menyodorkan sejumlah uang pas dan membawa pergi belanjaanku, “Makasih ya Mbak.”
Aku berjalan santai menuju mobilku, memasukkan belanjaan, sampai aku melihat sosok yang sangat aku kenal di kafe sebrang jalan. Aku tidak mungkin salah mengenalinya, sosok wanita yang pernah aku cintai, atau mungkin masih aku cintai sampai detik ini. Cinta yang akan terus aku simpan karena tidak mungkin aku utarakan.
Aku menyebrang jalan dan memasuki kafe tempat wanita itu berada, dan berjalan menghampirinya.
“Rin! Ririiin..” Aku memanggil nama wanita itu. Sahabatku, teman terbaik yang tumbuh bersamaku karena rumah kami memang berdekatan, namanya Ririn. Ia sedang duduk di pojok kafe, tempat favoritnya.
Biar gak banyak orang lewat dan mengganggu pembicaraan, katanya. Ah ya, aku memang sudah lama sekali mengenalnya sampai semua cerita tentang dia pun aku tahu.
Wanita cantik itu memicingkan matanya menatapku yang masih berada di pintu masuk. Hari ini ia tidak mengenakan kacamata merah kesayangannya, dan melihat reaksinya itu, dia juga pasti tidak mengenakan soft lens, yang pada akhirnya membuat pandangannya mengabur.
“Bagas.” Ririn tersenyum begitu berhasil mengenali sosok yang memanggilnya itu adalah aku.
“Rin, temenin gue makan roti bakar yuk. Laper banget nih..”
“Kapan? Sekarang?”
“Iyalah.. yuk yuk yuk.”
“Tapi gue balik dulu ya, ganti baju sama pake soft lens. Gak mau kan gue jalan nabrak-nabrak?”
“Iyee, buru.. dari mana lo?”
“Mini market, noh di depan. Beli minyak goreng, biasa disuruh ibu.” Ririn mengangkat plastik belanjaannya.
“Ih samaan dari mini market, jodoh kali ya kite?”
“Ngawur lo!”
Aku tertawa terbahak, lalu mengajaknya pergi menuju mobilku. Ternyata pilihanku untuk pergi keluar rumah di hari Minggu pagi ini bukan pilihan yang salah.
---
Sepanjang jalan dari rumah Ririn sampai detik ini, ketika kami sedang menikmati roti bakar masing-masing, Ririn tidak banyak bicara. Sorot matanya nampak sedih. Sebenarnya wajar, karena 3 bulan yang lalu ia berpisah dengan kekasihnya, Ariyo, yang sudah dipacarinya selama 3 tahun. Iya, 3 tahun yang lalu dimana pada saat yang sama, aku menghilangkan semua harapan yang aku punya untuk Ririn.
Aku menatap wajah Ririn, dan bertanya pelan-pelan, “Rin, masih sedih?”
“Eh?” Jawabnya singkat.
“Udah sih, masih aja pura-pura tegar depan gue. Kita kan tetanggaan dan temenan udah lama Rin. Ariyo gimana?”
Ririn tersenyum malas, “Yah, gini deh.. Hehe.. tiga tahun. Boleh lah ya, kalau kali ini gue sedihnya lamaan dikit?” Jawabnya dengan diakhiri senyuman lebar kali ini.
“Puk puk.” Aku mengelus pundaknya dengan senyum iba. Ahh, sebenarnya gue pengen banget meluk lo, Rin..
“Tapi, Rin.. ini udah bulan ketiga sejak lo dan Ariyo putus kan? Gak mau nyoba sama yang lain? Cowok banyak Rin..” Lanjutku. Iya, termasuk gue yang udah dari dulu sayang sama lo, gue yang meninggikan lo lebih dari siapapun, Rin. Batinku.
“Hehehe..”
“Mau gue kenalin sama temen gue? Hmm.. tapi siapa ya? Bentar.” Celetukku asal. OH SHIT! Oke Bagas, lo bego. Lo malah memusnahkan kesempatan yang ada buat lo dengan nawarin orang lain daripada berjuang buat kebahagiaan lo sendiri. Bego! Makiku dalam hati.
“Gak perlu, Gas. Gue mau nikmatin masa jomblo dulu, udah lama kan gue gak jomblo.”
Aku menghela nafas lega, syukurlah.
“Rin, sedih amat dah muka lo. Ampe kapan kayak gitu? Muka lo jadi kucel. Mana Ririnku yang duyuuu, yang uwuwuwuwuwuuu?” Aku menarik kedua pipinya, dan berusaha keras membentuk senyum yang sudah lama sekali tidak aku lihat. Akhirnya, Ririn tersenyum.
“Thanks anyway, Bagas..”
---
“Heh Wisnu. Lo kok suntuk amat keliatannya?”
Wisnu salah seorang sahabat baikku di kampus. Malam ini dia mengajakku bertemu di sebuah kafe, karena ada hal yang mau dia ceritakan, katanya. Sebagai sahabat yang baik, tentu saja aku menyetujui.
“Emang kabar gue lagi gak begitu baik sih, Gas..”
“Kenapa?”
“Adel, Gas..”
“GILE LO! Masih aja berhubungan sama pacar.. eh, malahan tunangan.. orang? Sakit lo!”
“GILE LO! Masih aja berhubungan sama pacar.. eh, malahan tunangan.. orang? Sakit lo!”
“Gue cinta banget sama dia Gas.”
“Cih, padahal menurut gue mah, dia tuh bukan cewek yang baik buat lo, Nu. Dia posesif gitu kan anaknya? Tiap ada cewek yang BBMin lo, dia marah. Padahal dia sendiri dengan egoisnya gak bisa milih antara lo dengan tunangannya.”
“Itu dia.. karena itulah, gue rasa gue udah harus lepas dari dia deh. Tapi..”
“Itu keputusan yang paling bener, Nu. Tapi kenapa? Masih ada yang ganjel?”
“…Adel udah janji sama gue, Gas. Kalau skripsi gue kelar, dan gue udah punya kerja, dia bakal mutusin pacarnya itu. Dia bakal jadi milik gue seutuhnya.”
“Dan lo percaya? Basi tau, Nu. Udahlah, lepasin aja.. ngapain terus memperjuangkan orang yang gak layak lo perjuangkan?”
“Iya deh, Gas. Gue bakal coba lepasin dia.”
Sebelum sempat membalas ucapan Wisnu, BlackBerryku berbunyi menandakan ada sebuah pesan BBM masuk. Dari Ririn.
“Gas, gue mau deh lo kenalin ke temen lo.”
Satu baris pesan itu saja tiba-tiba menghancurkan satu bilah harapan yang aku simpan rapat-rapat di dalam hatiku. Ah ya sudahlah, Gas.. lo emang gak pernah lebih dari sekedar seorang teman buat Ririn. Aku menyimpulkan, pada akhirnya. Ternyata harapan gue buat bisa milikin Ririn itu sudah seharusnya gue hapus daridulu.
Aku menatap sosok Wisnu di depanku yang sedang nampak sedih. Sosoknya itu mirip sekali dengan Ririn. Dan aku pikir, dua sahabatku yang sedang patah hati ini mungkin saja patahan hatinya cocok untuk satu sama lain dan bisa saling menyembuhkan.
“Woh, pas banget nih. Gue lagi sama Wisnu, temen kampus gue yang waktu itu lo bilang cakep pas gue pasang DP BBM sama dia. Gue kenalin sama dia aja apa? Lagi jomblo juga nih dia.” Aku menjawab pesan Ririn.
“Hmm.. kalau menurut lo dia baik buat gue, boleh lah.”
“Sip, gue suruh dia invite BBM lo ya?”
“Iya.” Jawabnya, singkat.
Aku sudah lumayan lama mengenal Wisnu, dan setahuku dia memang sosok pria yang baik dan tidak pernah macam-macam terhadap wanita. Justru dia yang dipermainkan seenaknya oleh Adel, wanita berusia 5 tahun di atas kami yang sudah mempunyai tunangan tapi malah seolah memberi Wisnu harapan. Cih, wanita macam apa itu. Lebih baik aku menjodohkannya dengan Ririn yang sudah jelas wanita baik-baik.
“Nu, gue gedek nih ngeliat lo layu gitu. Daripada lo makan hati terus, gimana kalo lo coba cari cewek lain? Lo kan mau lepas dari Adel, biar ngebantu proses move on lo juga. Gue punya temen, namanya Ririn, cantik lho.. lo invite gih BBMnya.”
“Ya udah, mana PINnya?”
Aku memberikan PIN BBM Ririn pada Wisnu dengan setengah hati yang tidak rela.
Mungkin memang bukan lo orangnya, Gas.
---
Besoknya, saat aku sedang mencuci mobil, aku melihat sosok Ririn melewati depan rumahku, sedang senyum-senyum sendiri dengan BlackBerry di tangannya.
Aku memanggilnya dengan suara keras, penasaran dengan proses PDKT Wisnu. “Rin, gimana Wisnu?”
“Heh, teriak-teriak. Masih pagi!”
“Ciyeee senyam-senyum sendiri. Wisnu.. Wisnu.. Wisnu.. Wisnu.. Ririn senyum lagi.” Aku meledeknya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Gue berangkat kerja dulu ah, nanti aja ceritanya pulang kerja!” Jawabnya sambil berjalan menjauh dari rumahku.
“Ririn lope lope sama Wisnu ciyeee..”
“Gas! Rese!”
Tawaku berhenti seiring dengan menjauhnya sosok Ririn. Aku senang melihatnya sudah mulai tersenyum lagi, tapi ternyata mengetahui alasan di balik senyumnya itu bukan aku cukup menyebalkan.
Tawaku berhenti seiring dengan menjauhnya sosok Ririn. Aku senang melihatnya sudah mulai tersenyum lagi, tapi ternyata mengetahui alasan di balik senyumnya itu bukan aku cukup menyebalkan.
---
“Gas, kayaknya Wisnu delete BBM gue deh?”
Pesan BBM dari Ririn, satu minggu setelah aku mengenalkan mereka.
“Hmm.. coba gue tanya ya.”
Tiba-tiba saja perasaanku tidak enak. Apakah ini gara-gara Adel, lagi? Aku mengetikkan nama Wisnu dan mengirimnya sebuah pesan.
Wisnu Putera.
“Nu! Lo kok nge-delete kontak BBM Ririn sih?”
“Hmm.. BBM gue di-upgrade, Gas. Sori sori, emang ada beberapa kontak yang ilang, nanti gue invite lagi deh, mana PINnya?”
“Nu, jujur sama gue. Ini bukan gara-gara Adel, kan?”
“Enggak, Gas.. udah mana sini PIN Ririn.”
Aku pun memberikan PIN BBM Ririn pada Wisnu dan sesegera mungkin mengabarkan mengenai hal itu pada Ririn.
“Katanya dia abis upgrade BBM, beberapa kontak ilang. Nanti dia invite lo lagi.”
“Oh, oke.”
“Tenang aja Rin, kalo ada apa-apa sama Wisnu lo bilang gue aja, oke?”
“: )”
Ririn hanya membalas pesanku dengan sebuah emoticon tersenyum. Dan aku tahu pasti, ketika Ririn hanya mengirim pesan seperti itu, tidak berarti Ririn sudah sepenuhnya baik-baik saja. Tapi aku yakin ini semua bukan karena Adel, mereka pasti baik-baik saja. Wisnu pasti membahagiakan Ririn.
---
“Gas, Wisnu tuh orangnya kayak gimana sih?” Tanya Ririn. Sore itu kami sedang mengobrol di teras rumahnya.
“Hmm, asik sih. Anak muda banget, anak orang ada, jadi kalau sedikit keliatan perlente dan manja ya gitu deh. Tapi dia anaknya asik kok.” Jawabku, sambil tersenyum.
“Oke. Kapan dia terakhir pacaran?”
“Hmm.. gak tau sih persisinya kapan, tapi yang pasti dia sekarang sendiri. EH, kalau gak salah tahun lalu deh, abis itu dia gak lagi deket sama siapa-siapa.”
“Serius? Cowok dengan kriteria yang baru aja lo sebutin dan tampang kayak dia?”
“Banyak sih yang suka sama dia, tapi..”
“ Tapi kenapa? Dia belum move on?”
“Nggak, dia udah lupa sama mantannya. Hmm, dia tuh pernah deket sama pacar orang, dan cewek ini posesif banget, gak ngebiarin dia deket sama cewek manapun. Dan bodohnya Wisnu nurut.”
“Oh ya? Kapan itu kejadiannya?”
“Gak lama setelah dia putus.”
“Lo pernah ketemu cewek itu?”
“Pernah, beberapa kali.”
“Cantik?”
Mendengar kata ‘cantik’, aku refleks menatap Ririn lekat-lekat. Rambut panjangnya yang diurai, bola matanya yang bulat, dagu belahnya, dan lesung di pipi kirinya yang muncul ketika dia tersenyum. Sempurna. “Cantikkan lo.”
Bukan karena aku mencintainya, tapi dia memang cantik. Sampai kata cantik pun seolah merefleksikan sosoknya.
“Hmm kok Wisnu sampe mau jadi selingkuhan?”
“Ya mana gue tau, tapi sih malam pas gue kenalin lo ke dia, Wisnu baru aja curhat, kalau dia mau lepas dari cewek itu. Soalnya cewek itu bohong, janji mau putusin pacarnya demi Wisnu, tapi gak diputusin juga.”
"Hmm, jadi sekarang Wisnu udah gak berhubungan lagi sama cewek itu?”
“Setau gue dan pengakuan dia sih enggak. Dan gue pengen bikin Wisnu lepas dari cewek itu, gue liat kayaknya kalian cocok.”
“Cocok dari mana? Gue ketemu dia aja belom pernah.”
“Hah? Masa?”
“Ya kali kalo gue ketemuan sama dia, gue bakal cerita sama lo. Gue sama dia teleponan aja belom pernah.”
“Tapi lo suka sama dia kan? I mean, selama chat nyambung, nyaman.”
Ririn menganggukkan kepalanya, “Iya, sih.. ya udah doain aja mudah-mudahan gue bisa bikin Wisnu lepas dari cewek itu, ya.. karena justru Wisnu yang bikin gue bisa lepas dari Ariyo. Gue berterima kasih banget sama dia.”
“Kebahagiaan lo selalu gue doain, kok. Syukur kalo emang lo udah bisa lepas dari Ariyo..” Jawabku, “…thanks to Wisnu, ya?” Lanjutku, lirih.
---
“Gimana sama Ririn, Nu?” Tanyaku suatu hari, ketika aku bertemu Wisnu di kampus.
“Baik, anaknya enak diajak ngobrol. Thanks buat lo yang udah ngenalin gue sama dia.”
“Adel apa kabar?”
“Kenapa lo nanyain Adel segala?”
“Ya gapapa.. habis Ririn cerita sama gue, kalian selama ini BBMan doang. Teleponan gak pernah, apalagi ketemu. Biasanya orang PDKT gak selama ini, kan? I mean, kalo emang nyaman, lo pasti udah ngajak dia ketemu.. apa Adel masih ada di pikiran lo?”
“Enggak, gue lagi mikirin skripsi aja. Ya udah tar malem gue telepon Ririn. Duluan ya, Gas, gue ada bimbingan sama dosen.”
Wisnu pun berlalu, aku tertegun dan berpikir. Semoga keputusan gue buat mendekatkan Ririn dan Wisnu ini tidak salah...
---
“Heh, Gas! Gue tar mau ketemuan lagi sama Wisnu! Oalah gue pikir dia bakalan ilfeel setelah kemarin jemput gue dari kantor, secara pas itu gue kucel banget kan. Hehehehe, ah udah ah gue mau siap-siap dulu dandan yang cantik, bye Bagaaas!”
Suara Ririn di ujung telepon terdengar girang sekali. Memang, setelah aku menanyakan mengenai kelanjutan PDKT mereka pada Wisnu, dia langsung menelepon Ririn dan mengajaknya bertemu. Dan aku pun ikut senang mendengarnya. Terakhir aku mendengar suara Ririn seriang ini adalah tiga tahun yang lalu. Waktu ia mengabarkan tentang hubungannya dengan Ariyo.
Dan pada akhirnya, dari Ririn aku belajar, ternyata bahagia itu bisa sesederhana menjadi orang pertama yang mendengarkan kabar-kabar menyenangkan dari orang yang kita cintai.
---
“Nu! Wisnu!” Aku memanggil Wisnu yang baru saja turun dari BMW hitam miliknya, hadiah dari Papanya untuk ulang tahunnya Oktober lalu.
“Gimana Ririn? Kemarin jadi ketemu? Ririn cantik kan? Asik kan orangnya? Udah gitu, meskipun dia seumuran sama kita, tapi dia udah lulus dan kerja, pinter anaknya.. iya kan? Gue bener kan?”
“Iya cantik, Sob. Asik sih, tapi kayaknya dia kemarin masih rada jaim deh.”
“Ya iyalah.. grogi ketemu cowok ganteng kayak lo, Wisnu Putera..” Ledekku sambil menepuk punggungnya.
“Basi lo, Gas.. yuk ah.”
Aku menatap sosok Wisnu dari belakang, aku tidak terlalu menangkap sinyal-sinyal bahagia dari Wisnu, entah kenapa. Dan melihat Wisnu yang sedang bersemangat mengerjakan skripsi, aku tiba-tiba teringat waktu Wisnu bercerita tentang janji Adel padanya. Apa mungkin karena Adel? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku kuat. Enggak, Wisnu sudah meninggalkan Adel. Gue yakin.
---
“Gas, cewek yang pernah lo ceritain ke gue itu ciri-cirinya gimana?”
Tiba-tiba saja Ririn mengirimku pesan lewat BBM, disertai PING!!! yang menandakan dia sedang terburu-buru.
“Cewe yang mana, Rin?”
“Yang berhasil bikin Wisnu jadi selingkuhannya.”
“Oh, Adel.”
“Oh, jadi namanya Adel. Iya, dia kayak gimana?”
“Putih, tingginya se-elo, kurus, rambut sebahu. Hmm.. mukanya dewasa, wajarlah dia 5 tahun di atas kita.”
“Mbak-mbak? Kayaknya tadi gue ngeliat dia, gue dan Wisnu. Dan Wisnu jadi aneh gitu.”
“Serius? Ketemu dimana?”
“Nanti kita lanjutin lagi, Gas. Wisnu udah dateng.”
“Well, okay..”
“Well, okay..”
---
Setelah malam itu, Ririn sama sekali tidak mengabariku lagi tentang kejadian pertemuan tidak sengaja mereka dengan Adel. Dan aku pun berpikir, mungkin Ririn dan Wisnu baik-baik saja. Toh, Wisnu juga sama sekali tidak pernah bercerita apapun lagi tentang Adel. Terakhir aku bertemu Wisnu, dia bercerita tentang skripsinya yang sudah selesai dan dia akan sidang besok.
“Gas..”
Baru saja aku memikirkannya, Ririn menghubungiku.
“Yes?”
“Tanggung jawab. Lo yang ngenalin gue sama Wisnu, sekarang gue jatuh cinta sama dia, dianya malah gak jelas.”
“Lah, gue pikir lo berdua ga ada kabar tuh berarti lagi baik-baik aja. No news is good news kan biasanya?”
“Wisnu aneh sejak gak sengaja ketemu Adel di mall waktu itu, dia juga jadi ngilang. Gue hubungin duluan pun gak ada balasan, ada sih, tapi singkat dan jarang banget.”
“Lah kok bisa?”
“Apa salah gue ya? Gue nanya kejelasan hubungan kita ke dia malam itu."
Damn! Seharusnya gue tau soal ini. Mereka udah deket terlalu lama, dan emang aneh banget kalo Wisnu belum juga ngasih kepastian buat Ririn. Wajar Ririn nanya kejelasan hubungan mereka. Gue bego! Kenapa gue acuh-acuh aja selama ini..
Damn! Seharusnya gue tau soal ini. Mereka udah deket terlalu lama, dan emang aneh banget kalo Wisnu belum juga ngasih kepastian buat Ririn. Wajar Ririn nanya kejelasan hubungan mereka. Gue bego! Kenapa gue acuh-acuh aja selama ini..
“Hmm.. cowok biasanya kalau gitu emang karena gak mau sih, Rin..”
You’re so damn stupid, Bagas. Kenapa lo harus sejujur itu..
“Gak mau gimana?”
“Ya masih belum mau jadiin lo sesuatu. Tapi aneh deh, Wisnu tuh kalo cerita tentang lo ke gue kayaknya bahagia banget. Seneng gitu bisa jalan sama lo, muji-muji lo. Emang rada-rada tuh anak..”
“Hmm..”
Aku tertegun sejenak, kalau Wisnu aneh begini setelah tidak sengaja bertemu Adel, kemungkinannya cuma satu, mereka masih dekat. Dan aku kembali dengan kecurigaanku sewaktu melihat Wisnu yang bersemangat mengerjakan skripsi, ini semua pasti karena Wisnu masih percaya dengan janji Adel. Ah, udah salah banget selama ini gue denial dari semua firasat buruk tentang Wisnu dan Adel. Pikirku.
“Gue mau cerita sama lo sebenernya, tapi gue takut lo jadi gak mau deket lagi sama Wisnu kalo gue ceritain dari awal.”
“Apa? Cerita gak!”
“Gini, Adel tuh minta Wisnu kelarin skripsinya, cari kerja, terus baru deh bakal ninggalin pacarnya. Dan Wisnu percaya banget sama hal itu.”
“Damn. Kenapa lo gak cerita sama gue dari kemaren?”
“Habis gue pikir Wisnu udah move on dengan adanya elo. Dia keliatan bahagia tiap cerita tentang lo. Gue ulang ya, muji-muji lo terus. Mana gue tau bisa kayak gini.”
Ririn hanya membaca pesan BBM dariku, membuatku panik.
“Rin, maafin gue. Kalau gue gak ngenalin lo ke Wisnu, gak akan kayak gini jadinya. Gue cuma pengen liat lo senyum lagi. Maaf kalau harus jadi kayak gini.”
Lagi, Ririn tidak membalas BBMku. Dia pasti marah. Aku tercenung menatap layar BBku dan menghela nafas panjang. Ini memang salahku sendiri, kenapa malah menyerahkan semua usaha untuk membahagiakan orang yang aku cintai pada orang lain.
---
Besoknya, saat aku sedang berjalan di sekitar kampus, tiba-tiba saja BBku berbunyi menandakan sebuah panggilan dari Ririn.
“Gas, Wisnu..”
“Hoi, napa Rin? Kok lo ngos-ngosan gini? Kenapa Wisnu?”
“Lo ke tempat parkir sekarang. Di depan, Wisnu tetiba pergi ninggalin gue, mukanya panik dan sedih, tolong ikutin dia, tolong Gas.. tolong jaga dia.”
“Oke, gue ambil motor sekarang.”
Aku berlari sekuat tenaga menuju tempat parkir, mengambil motorku dan mengendarainya secepat mungkin. Aku melihat mobil Wisnu dan mengikutinya.
Ini jalan menuju rumah Adel, gue inget waktu itu Wisnu ngajak gue kesini. Tapi kenapa ke rumah Adel?
Pikiranku berkecamuk antara bayangan Ririn yang mungkin sedang sendirian di kampusku sambil menangis, dan kemungkinan yang akan terjadi di rumah Adel.
50 meter dari rumah Adel, jalanan nampak ramai sekali. Aku melihat Wisnu turun dari mobilnya dan berlari. Aku mengejarnya dengan motorku sambil menyalip dengan hati-hati.
Tiba di depan rumah Adel. Aku melihat sosok Wisnu sedang berdiri dengan tatapan kosong menatap ke dalam rumah Adel yang penuh dengan orang yang sedang berbahagia, penuh tawa. Aku pun bisa melihat sosok Adel sedang tersenyum di samping seorang pria yang aku rasa adalah tunangannya yang selama ini Wisnu ceritakan. Ah, tidak. Pria itu sekarang resmi suaminya.
Aku melihat Wisnu bergerak mendekat menuju rumah Adel, dan Adel menyadarinya. Mulut Adel bergerak seolah berucap, “Jangan..” tapi Wisnu masih bersikeras mendekat. Aku pun berlari mendekati Wisnu.
“Wisnu!” Aku mencengkeram bahu Wisnu keras, dan menariknya menjauh.
“Woi Nu, lo gila apa? Lo masih aja ngarepin Adel? Gue pikir dengan jalannya lo sama Ririn lo udah lupain Adel? Sinting lo, Nu!”
“Kenapa lo bisa di sini?” Tanyanya, heran.
“Ririn telepon gue dan bilang lo tetiba lari sehabis keluar dari ruang sidang, dia ngejar lo sambil telepon gue dan minta gue jagain lo, ngejar lo. Gue langsung ngambil motor, nyari dan ngikutin lo. Dan ternyata lo kemari.. gila lo ye, masih aja ngarepin perempuan kayak gitu.” Aku menunjuk rumah tempat pernikahan Adel digelar itu sambil menahan Wisnu yang masih terlihat ingin masuk ke dalam sana dan menghancurkan pernikahan tersebut.
“Lo tau kan? Ririn itu sahabat gue..” Aku menghela nafas panjang sebelum mengucapkan kalimat selanjutnya yang seolah ditujukan untuk meyakinkan diriku sendiri, “..dia tuh udah kayak adek gue sendiri.”
Wisnu menatapku dengan tatapan nyalang, dia masih tidak bisa meng-handle emosinya setelah melihat pernikahan Adel yang sedang berlangsung tepat di depan matanya.
“..Ririn udah sayang banget sama lo, Nu. Dia berharap sama lo, dia nungguin lo kelar sidang skripsi di kampus, dan lo malah di sini?!”
“Gue gak bisa bohongin hati gue, Gas.. gue cinta sama Adel.”
“Lo liat sekarang? Apa Adel cinta sama lo? Kalau dia cinta sama lo, dia gak akan ninggalin lo kayak sampah gini aja dengan nikah sama orang lain! Sadar dong, mau sampe kapan lo dibutain kayak gitu? Lo laki bukan sih?!”
“Maksud lo?!”
“Harga diri lo udah diinjek-injek sama dia sejak lo menyetujui mau jadi selingkuhannya, nunggu dia, percaya aja sama dia mau ninggalin tunangannya demi lo? Harga diri lo mana? Kalau lo udah gak bisa nyelamatin hati, setidaknya lo selametin tuh harga diri lo. Lo laki, Nu..”
“Emang laki-laki gak boleh jatuh cinta? Gak boleh setia nunggu? Gak boleh kebawa perasaan? Emang kenapa kalo cuma dia yang ada di hati gue!” Wisnu menjawab ucapanku dengan nada emosi, dia memang sedang benar-benar tidak terkendali.
“Boleh, Nu. Asal ada gunanya. Asal segala tai kucing yang baru aja lo utarain ke gue cuma nyakitin diri lo sendiri, gak nyakitin orang lain, gak nyakitin Ririn..”
“SHIT!” Maki Wisnu. Ia menendang pohon di depannya dan meremas rambutnya keras. Ia nampak frustasi dan kecewa sekaligus.
“Sekarang buat apa lo disini? Adel gak akan batalin pernikahannya. Ayo pulang, Nu. Ambil lagi harga diri lo.” Aku menepuk pundak Wisnu pelan, dan mengajaknya berjalan menjauh.
Aku menyetir mobil Wisnu sementara Wisnu terdiam di kursi sebelahku dengan tatapan kosong. Aku langsung mengambil BBku dan mengabari Ririn.
“Rin, lo ke Jalan Santoso no 43 sekarang.. nanti gue bawa Wisnu ke sana. Itu rumah dia.”
“Lo dimana? Ketemu Wisnu?”
Aku tidak menjawab pertanyaan Ririn dan langsung menjalankan mobil dengan cepat menuju rumah Wisnu. Gue gak bisa lama-lama ngebiarin Ririn sendirian.
---
“Ririn tuh..” Aku menunjuk Ririn yang sedang duduk di kursi teras rumah Wisnu. Sosoknya nampak rapuh.
Jauh di lubuk hati, aku ingin sekali menghampiri Ririn dan memeluknya, membiarkan dia menangis dan menanggalkan semua luka-luka yang memang separuhnya karena aku. Ini semua karena aku mengenalkan Ririn pada Wisnu.
“Gue ngambil motor gue dulu ya di rumah Adel.” Aku menepuk punggung Wisnu, “Jaga Ririn, Nu. Jangan pernah lo omongin hal-hal yang bakal nyakitin dia.”
“Karena sebenarnya gue sayang dia, Nu. Gue cinta dia, lebih dari siapapun.”
Wisnu menatapku, tak lama setelah aku mengucapkan hal itu. Aku tersenyum dan membiarkan Wisnu menghampiri Ririn. Wisnulah yang Ririn butuhkan, bukan aku.
Aku berjalan menjauh seiring dengan Wisnu yang sedang berjalan menghampiri Ririn di kursi teras rumahnya. Aku melirik mereka dari kejauhan, tampak Ririn sedang memeluk Wisnu erat, sambil menangis.
Ririn mencintai Wisnu. Dan dia terluka seperti itu karena aku, orang yang mencintai dia tapi terlalu pengecut untuk mengakui cintanya, “Aku emang gak pantes buat kamu, Rin..” Ucapku lirih, sambil berjalan meninggalkan rumah Wisnu.
“Ku terbiasa tersenyum tenang, walau hatiku menangis.
Kaulah cerita, tertulis dengan pasti, selamanya dalam pikiranku..”
“Biarkan semua, seperti seharusnya.. tak akan pernah menjadi milikku..
Lupakan semua, tinggalkan ini, ku kan tenang, dan kau kan pergi..
Berjalanlah walau habis terang,
Ambil cahaya cinta, ku terangi jalanmu..
Diantara beribu lainnya, kau tetap benderang..”
Bagian dari #CerpenPeterpan - Tak Bisakah (kau menungguku)
Bagas - Biarkan ( Tak Menjadi Milikku)
Diposting oleh Fairuz di 01.30 0 komentar
Sesekali Lupa
Jumat, 13 Juli 2012
Label:
bestinspiration,
love
Lupa pada luka yang pernah kamu simpan begitu dalamnya.
Lupa pada bagian diriku yang pernah berusaha membencimu begitu rupa.Tak apa, kau bilang.
Terkadang dua orang yang pernah bersama memang selalu saling ingat.
Saling ingat untuk saling melupakan, dan melihat siapa yang terlihat paling kuat.
Seperti aku, seperti kamu.
Tapi boleh kan, aku sesekali lupa?
Aku ingin memelukmu tanpa mengingat kamu pernah memalsukan sayang dengan kehangatan yang sama.
Aku ingin menggenggam tanganmu tanpa mengingat kamu pernah menggenggam harapan semu untukku dengan tangan yang sama.
Aku ingin tertidur di pundakmu tanpa mengingat kamu pernah menyandarkan semua beban padaku dengan kekuatan yang sama.
Aku ingin ingat kamu pernah menjadi tempat ternyaman untuk aku tinggal.
Karena kamu adalah apa yang pernah, masih, dan selalu.
Hanya saja selalu ada aroma kenangan yang menyengat ketika kita bersama dalam diam.
sudah, yang pergi tak perlu kembali. luka yang pulih tak usah memerih, meskipun ia boleh memilih.
Dinding luka ini seolah menebal setiap aku merasa semakin menginginkanmu.
Seolah melarangku menyusup semakin jauh,
karena sejauh apapun aku pergi, aku selalu mampu jatuh padamu lagi.
Seperti matahari memberi rasa yang tanpa tendensi,
aku terjatuh padamu bagai bumi yang memiliki gravitasi.
Ah,
kalau saja cinta tidak bisa jatuh pada satu orang yang sama berulang-ulang.
Diposting oleh Fairuz di 04.49 0 komentar
Bagaimana Jika
Label:
random
matamu
senyummu
gerakan tanganmu sewaktu berbicara
kerutan di dahimu sewaktu kebingungan
Bagaimana jika kukatakan
bahwa aku merindu?
Bagaimana jika kukatakan
bahwa aku ingin menarikmu
ke dalam pelukan
kembali pada ingatan
membawamu tenggelam pelan-pelan
sampai ke dasar
supaya terlihat bahwa aku (masih) mencintaimu
tidak jauh berbeda dengan dahulu
hanya saja kali ini jumlahnya lebih besar
keberadaannya lebih dalam
lebih mampu memilih bersembunyi dalam diam
Ah sudahlah
Kamu boleh pergi sekarang
Sampaikan salamku untuk kekasihmu
Dia menunggu di bawah
Diposting oleh Fairuz di 01.38 0 komentar
Kita Adalah Sisa-Sisa Keikhlasan yang Tak Diikhlaskan
Label:
bestinspiration,
fiksi,
share
Dua cangkir kopi.
Satu sedang diaduk perlahan searah jarum jam,
satu diaduk dengan arah sebaliknya.
"Aduk kopi itu harus searah jarum jam."
Kata Lelaki itu, sambil tersenyum ke arah perempuan di hadapannya.
"Emang ngaruh?"
Perempuan itu tertawa pelan sambil tetap bersikeras dengan adukan kopi yang seperti biasanya ia lakukan, berlawanan arah jarum jam.
"Ngaruh, lah. Jadinya lebih kental."
Jawabnya sambil langsung meminum kopi hasil adukannya tersebut.
Perempuan itu mengangguk-anggukan kepalanya dan mengikuti saran sosok lelaki di hadapannya itu, lelaki yang sudah lama ia cintai dengan begitu rupa.
"Gimana keadaan kamu? Udah mendingan?"
Perempuan itu tertegun sejenak sebelum menjawab, "Lumayan. Yang masih sakit itu disini." Perempuan itu membuat gestur seolah ia sedang menunjuk hatinya, dan sejurus kemudian mereka berdua tertawa.
"Mmm.. ngomong-ngomong, gimana keadaan dia?" Lanjut Perempuan itu setelah hening kembali menyergap di antara mereka berdua.
Lelaki itu memainkan ponselnya, menulis pesan untuk seseorang.
"Udah mendingan sih. Aku tadinya ada rencana mau ke luar kota, cuma selama dia masih sakit gitu aku gak tenang.."
Perempuan itu berusaha mengabaikan satu hentakan kecil di hatinya yang entah karena apa.
Mungkin karena perasaan cemas yang Lelaki itu miliki untuk 'dia', menunjukkan bahwa rasa sayang itu masih ada.
"...kamu masih sayang dia." Ujarnya, spontan. Membuat sosok lelaki di hadapannya itu berhenti mengetikkan sesuatu di ponsel.
"Aku harus pergi." Kata Lelaki itu, tanpa menjawab ucapan si Perempuan. "Dia memintaku datang ke rumahnya."
Perempuan itu berdiri dan menghampiri sosok Lelaki yang teramat ia cinta dengan segala luka dan pinta. Lelaki yang ia beri segudang harap, lelaki yang telah membuatnya berhenti membuat ribuan kemungkinan karena dia telah menghilangkan jutaan kepastian.
Lelaki itu memeluknya, lalu mengecup keningnya perlahan. "Maaf."
Dan dia berlalu pergi, begitu saja.
Perempuan itu berdiri dan menghampiri sosok Lelaki yang teramat ia cinta dengan segala luka dan pinta. Lelaki yang ia beri segudang harap, lelaki yang telah membuatnya berhenti membuat ribuan kemungkinan karena dia telah menghilangkan jutaan kepastian.
Lelaki itu memeluknya, lalu mengecup keningnya perlahan. "Maaf."
Dan dia berlalu pergi, begitu saja.
Perempuan itu pun kembali pada kesendiriannya,
pada ketidak-utuhannya.
Menggenggam dua cangkir kopi yang baru saja tadi melakukan sebuah percakapan hangat, namun kini berlalu meninggalkan sepi.
pada ketidak-utuhannya.
Menggenggam dua cangkir kopi yang baru saja tadi melakukan sebuah percakapan hangat, namun kini berlalu meninggalkan sepi.
"Kita adalah sisa-sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan
Bertiup tak berarah, berarah ke ketiadaan."
Diposting oleh Fairuz di 01.21 0 komentar
Saya Lupa
Saya sudah sepenuhnya melupakan kamu.
Melupakan wajahmu, bentuk matamu, caramu menatap, caramu berbicara, suaramu yang tidak terdengar berat, kumis tipismu, dan gaya rambutmu yang begitu-begitu saja.
Saya sudah sepenuhnya melupakan kamu.
Melupakan kebiasaan-kebiasaan kecilmu, makanan favoritmu, minuman favoritmu, cara makanmu yang lambat, caramu menyeduh kopi dengan mengaduknya searah jarum jam, caramu meminum kopi ataupun teh secepat mungkin sebelum mendingin.
Saya sudah sepenuhnya melupakan kamu.
Melupakan hal-hal yang kamu lakukan ketika sedang merasa kesal, hal yang kamu lakukan ketika sedang senang, kamu yang sangat senang berbicara, dan kamu yang terkadang lebih mengurusi orang lain daripada dirimu sendiri.
Saya sudah sepenuhnya melupakan kamu.
Melupakan hal-hal yang kamu lakukan ketika sedang merasa kesal, hal yang kamu lakukan ketika sedang senang, kamu yang sangat senang berbicara, dan kamu yang terkadang lebih mengurusi orang lain daripada dirimu sendiri.
Saya sudah sepenuhnya melupakan kamu.
Melupakan genre film yang kamu suka, dan kamu yang lebih suka tidak banyak berbicara ketika sedang menonton di bioskop, tapi terkadang malah berbicara lebih banyak dariku karena menurutmu berbicara denganku menyenangkan.
Saya sudah sepenuhnya melupakan kamu.
Melupakan musik yang kamu dengarkan, dan selera musikmu yang tidak jauh berbeda dariku. Hanya saja kamu lebih bisa menerima musik yang menurutku terlalu cepat, terlalu lambat, terlalu berisik, atau terlalu menye-menye.
Saya sudah sepenuhnya melupakan kamu.
Saya sudah sepenuhnya (lupa bahwa saya sudah) melupakan kamu.
Diposting oleh Fairuz di 01.58 0 komentar
Langganan:
Postingan (Atom)