#13, Rumah

Kamis, 27 Oktober 2011 Label: , ,

20 missed calls. 30 new messages.

Angkat teleponku. 
Angkat, atau aku ke rumahmu, sekarang.
Sampai kapan kamu mau mendiamkan aku?

...and so on.

Aku melirik telepon genggamku sekilas, melihat lednya yang berkedap-kedip dengan namamu di layar. 
Drrt... drrt... 

Aku di depan rumahmu, tolong keluarlah.

Aku menghela nafas panjang. Kemudian melangkah gontai ke arah kamar mandi dan bergerak menuju wastafel. Kususut air mata di pipiku, dan kutepuk-tepuk pipiku pelan, mencoba terlihat baik-baik saja.

Aku menatap sosokku di cermin, mematut-matut diri agar nampak kuat. 
Aku tergugu sesaat sebelum membuka pintu.
Aku enggan menemuimu, tapi ingin.
Enggan mendengarkan, tapi tak mungkin mengabaikan.

Aku melangkah menuju pagar rumahku dan kutemui kamu.
Sosokmu yang sudah tak kutemui selama lebih dari seminggu, terlihat rapuh, dan sekejap saja membuat semua amarah dalam diriku lenyap.

"Kenapa kamu kesini?" Tanyaku, pelan.
Kamu menatap mataku lembut, tatapan yang mampu merobohkan semua pertahanan diri dan menghancurkan tatanan hatiku yang pada awalnya kusiapkan, jika pada akhirnya aku harus bertemu kamu lagi setelah kesalahan yang sudah kamu perbuat.

"Aku perlu menjelaskan semuanya sama kamu." Kamu tersenyum sambil mengelus kepalaku pelan. Aku tidak berkutik, kendati sekujur tubuhku mengisyaratkan rindu.

"Apa yang harus dijelaskan lagi? Semuanya sudah jelas..."
Aku tersenyum getir, "...sudah cukup, jangan membuat kebohongan apapun lagi. Aku siap kamu tinggalkan, kali ini."

"Aku banyak berpikir, selama satu minggu kemarin tidak bertemu kamu..." Kamu meraih tanganku pelan, dan aku menepisnya. Kamu tidak seharusnya selalu mampu membuatku menjadi sosok yang selalu mudah memaafkan sehingga terbodohi oleh kata kepercayaan.
"...padahal banyak yang ingin aku sampaikan, tapi begitu melihat kamu, semuanya hilang."

Aku memalingkan wajahku dari sosoknya, "Apa yang udah terjadi ini bukan sepenuhnya salah kamu. Aku sendiri sangat menyesal gak bisa jagain kamu. Aku yang salah mendidik kamu... ya kan?" Aku mencoba menyembunyikan gemetar dalam suaraku.

"Sssh..."
Tiba-tiba kamu membalikkan badanku, dan menaruh telunjukmu di bibirku. "Udah. Gak apa-apa, kamu tenang aja, biar aku yang terluka, kamu gak usah bicara lagi... Ini pure salahku."
Kamu menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatmu, "I mean it. Ini pure salahku... kamu tidak salah mendidik aku. Kamu tidak pernah menuntut apapun dari aku, kamu juga tidak pernah mempermasalahkan mau jadi apa aku. Kamu selalu ada untuk mensupport aku, membantu jalanku, dan kamu selalu mampu membuat segalanya menjadi mungkin..." 

Ada gemetar dalam suaramu. Tanpa menatap matamu pun aku sudah tahu kamu sungguh... menyesal.

"Kamu tidak pernah mengeluh, meskipun aku selalu sibuk dan tidak punya waktu untuk kamu. Kamu selalu memaklumi ketika aku perlu waktu untuk sendiri tanpa diganggu oleh pesan-pesanmu...." Kamu terdiam sejenak. Ada jeda sesaat sebelum kamu melanjutkan, "...aku. Aku yang salah menanggapi kebebasan yang kamu berikan. Aku tak ubahnya layang-layang yang terbang dan tergoda oleh bintang di atas sana, yang pada akhirnya terlupa dengan benang yang masih mengikatku di bumi..."

"...aku minta maaf. Tolong, jangan memutuskan benangnya. Aku gak tau seperti apa aku tanpa kamu..."
Sesudah bicara, kamu menundukkan kepalamu di bahuku, dan aku tak bergeming. Kamu terlihat lemah, sangat lemah. 

"Kamu tahu?" Aku menatapnya dengan tatapan kosong. "Kesalahan seperti ini pernah ada, dulu. Kamu bisa meminta maaf dan mengulang kesalahan yang sama ribuan kali, aku pun bisa saja memaafkan. Tapi aku tak pernah menginginkan hubungan tanpa kepercayaan. Maaf..."

Kamu terbelalak tak percaya. Dan sejurus kemudian tersenyum getir, "Aku tahu hal seperti ini pasti datang... sooner or later."
Aku terdiam, memaku diriku dalam kalimat yang sudah kuucapkan sebelumnya. Kuatlah. Jangan menangis, tidak detik ini.

"Maaf, semuanya harus berakhir seperti ini. Hanya karena kecerobohanku. You did your best in our relationship, aku saja yang terlalu bodoh membiarkan kamu tenggelam dalam kepercayaan yang kamu kasih sama aku. Jaga diri baik-baik, salam untuk semua keluarga kamu. Aku bakal kangen main catur sama Papa kamu..."
Kamu menepuk kepalaku pelan, dan menarikku ke dalam pelukan, yang entah kenapa refleks membuat lenganku melingkar di pinggangmu juga. Dan tentu saja, secara alami memberikan sinyal pada mataku untuk mengeluarkan air mata.
"...kita akan dipertemukan lagi jika memang suatu saat nanti Tuhan masih ingin lihat kita bersama lagi, aku gak akan kemana-mana. Nantinya aku masih bakal telepon Mama kamu untuk sekedar nanya kabar. Sorry, I have to hug you for the last,  karena aku gak tau sepulang dari sini aku bakal jadi apa setelah aku sadar aku tidak lagi jadi bagian di hidup kamu."
Aku mengangguk, hatiku berteriak ingin meminta kamu tetap tinggal, tapi tidak mungkin. Aku sudah memintamu pergi.

Aku melepaskan diri pelan-pelan, "Take care.. makasih. Aku memaafkan kamu, bukan umurnya lagi kita putus terus musuhan." Aku tertawa, mencoba mencairkan suasana. Dan kamu pun tertawa.

"Ya udah, aku pergi ya. Good bye." 
Aku mengangguk, menatap punggungmu yang menjauh.
Kususupkan kepalaku ke dalam bantal, menghabiskan sisa malam, sebelum menemui hari dimana aku tidak lagi menjadi bagian di hidupmu.


Karena setelah kamu pergi, aku tak ubahnya kehilangan rumah untuk pulang.

0 komentar:

Posting Komentar