#13, Rumah

Kamis, 27 Oktober 2011 Label: , ,

20 missed calls. 30 new messages.

Angkat teleponku. 
Angkat, atau aku ke rumahmu, sekarang.
Sampai kapan kamu mau mendiamkan aku?

...and so on.

Aku melirik telepon genggamku sekilas, melihat lednya yang berkedap-kedip dengan namamu di layar. 
Drrt... drrt... 

Aku di depan rumahmu, tolong keluarlah.

Aku menghela nafas panjang. Kemudian melangkah gontai ke arah kamar mandi dan bergerak menuju wastafel. Kususut air mata di pipiku, dan kutepuk-tepuk pipiku pelan, mencoba terlihat baik-baik saja.

Aku menatap sosokku di cermin, mematut-matut diri agar nampak kuat. 
Aku tergugu sesaat sebelum membuka pintu.
Aku enggan menemuimu, tapi ingin.
Enggan mendengarkan, tapi tak mungkin mengabaikan.

Aku melangkah menuju pagar rumahku dan kutemui kamu.
Sosokmu yang sudah tak kutemui selama lebih dari seminggu, terlihat rapuh, dan sekejap saja membuat semua amarah dalam diriku lenyap.

"Kenapa kamu kesini?" Tanyaku, pelan.
Kamu menatap mataku lembut, tatapan yang mampu merobohkan semua pertahanan diri dan menghancurkan tatanan hatiku yang pada awalnya kusiapkan, jika pada akhirnya aku harus bertemu kamu lagi setelah kesalahan yang sudah kamu perbuat.

"Aku perlu menjelaskan semuanya sama kamu." Kamu tersenyum sambil mengelus kepalaku pelan. Aku tidak berkutik, kendati sekujur tubuhku mengisyaratkan rindu.

"Apa yang harus dijelaskan lagi? Semuanya sudah jelas..."
Aku tersenyum getir, "...sudah cukup, jangan membuat kebohongan apapun lagi. Aku siap kamu tinggalkan, kali ini."

"Aku banyak berpikir, selama satu minggu kemarin tidak bertemu kamu..." Kamu meraih tanganku pelan, dan aku menepisnya. Kamu tidak seharusnya selalu mampu membuatku menjadi sosok yang selalu mudah memaafkan sehingga terbodohi oleh kata kepercayaan.
"...padahal banyak yang ingin aku sampaikan, tapi begitu melihat kamu, semuanya hilang."

Aku memalingkan wajahku dari sosoknya, "Apa yang udah terjadi ini bukan sepenuhnya salah kamu. Aku sendiri sangat menyesal gak bisa jagain kamu. Aku yang salah mendidik kamu... ya kan?" Aku mencoba menyembunyikan gemetar dalam suaraku.

"Sssh..."
Tiba-tiba kamu membalikkan badanku, dan menaruh telunjukmu di bibirku. "Udah. Gak apa-apa, kamu tenang aja, biar aku yang terluka, kamu gak usah bicara lagi... Ini pure salahku."
Kamu menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatmu, "I mean it. Ini pure salahku... kamu tidak salah mendidik aku. Kamu tidak pernah menuntut apapun dari aku, kamu juga tidak pernah mempermasalahkan mau jadi apa aku. Kamu selalu ada untuk mensupport aku, membantu jalanku, dan kamu selalu mampu membuat segalanya menjadi mungkin..." 

Ada gemetar dalam suaramu. Tanpa menatap matamu pun aku sudah tahu kamu sungguh... menyesal.

"Kamu tidak pernah mengeluh, meskipun aku selalu sibuk dan tidak punya waktu untuk kamu. Kamu selalu memaklumi ketika aku perlu waktu untuk sendiri tanpa diganggu oleh pesan-pesanmu...." Kamu terdiam sejenak. Ada jeda sesaat sebelum kamu melanjutkan, "...aku. Aku yang salah menanggapi kebebasan yang kamu berikan. Aku tak ubahnya layang-layang yang terbang dan tergoda oleh bintang di atas sana, yang pada akhirnya terlupa dengan benang yang masih mengikatku di bumi..."

"...aku minta maaf. Tolong, jangan memutuskan benangnya. Aku gak tau seperti apa aku tanpa kamu..."
Sesudah bicara, kamu menundukkan kepalamu di bahuku, dan aku tak bergeming. Kamu terlihat lemah, sangat lemah. 

"Kamu tahu?" Aku menatapnya dengan tatapan kosong. "Kesalahan seperti ini pernah ada, dulu. Kamu bisa meminta maaf dan mengulang kesalahan yang sama ribuan kali, aku pun bisa saja memaafkan. Tapi aku tak pernah menginginkan hubungan tanpa kepercayaan. Maaf..."

Kamu terbelalak tak percaya. Dan sejurus kemudian tersenyum getir, "Aku tahu hal seperti ini pasti datang... sooner or later."
Aku terdiam, memaku diriku dalam kalimat yang sudah kuucapkan sebelumnya. Kuatlah. Jangan menangis, tidak detik ini.

"Maaf, semuanya harus berakhir seperti ini. Hanya karena kecerobohanku. You did your best in our relationship, aku saja yang terlalu bodoh membiarkan kamu tenggelam dalam kepercayaan yang kamu kasih sama aku. Jaga diri baik-baik, salam untuk semua keluarga kamu. Aku bakal kangen main catur sama Papa kamu..."
Kamu menepuk kepalaku pelan, dan menarikku ke dalam pelukan, yang entah kenapa refleks membuat lenganku melingkar di pinggangmu juga. Dan tentu saja, secara alami memberikan sinyal pada mataku untuk mengeluarkan air mata.
"...kita akan dipertemukan lagi jika memang suatu saat nanti Tuhan masih ingin lihat kita bersama lagi, aku gak akan kemana-mana. Nantinya aku masih bakal telepon Mama kamu untuk sekedar nanya kabar. Sorry, I have to hug you for the last,  karena aku gak tau sepulang dari sini aku bakal jadi apa setelah aku sadar aku tidak lagi jadi bagian di hidup kamu."
Aku mengangguk, hatiku berteriak ingin meminta kamu tetap tinggal, tapi tidak mungkin. Aku sudah memintamu pergi.

Aku melepaskan diri pelan-pelan, "Take care.. makasih. Aku memaafkan kamu, bukan umurnya lagi kita putus terus musuhan." Aku tertawa, mencoba mencairkan suasana. Dan kamu pun tertawa.

"Ya udah, aku pergi ya. Good bye." 
Aku mengangguk, menatap punggungmu yang menjauh.
Kususupkan kepalaku ke dalam bantal, menghabiskan sisa malam, sebelum menemui hari dimana aku tidak lagi menjadi bagian di hidupmu.


Karena setelah kamu pergi, aku tak ubahnya kehilangan rumah untuk pulang.

-

Senin, 24 Oktober 2011 Label: , ,

Ah.
Bukannya aku enggan bicara.
Hanya saja ketika kamu ada...
Kupikir kenapa harus ragu,
ketika kamu sama sekali aman di genggaman tanganku?

Doubtful...

Label: , , ,

Kadang aku menatapmu dalam-dalam, dan kuselidiki kamu diam-diam. 
Aku mengamatimu baik-baik, karena aku tak sekedar melirik.

Kupikir aku hanya ingin sejenak terjun, ke dalam gelapnya palung-palung.
Mencoba menebas ragu yang menggantung.
Kupikir aku hanya ingin tahu, seberapa banyak tentangku terukir? 
Atau hanya sebatas tergambar dengan baik di bibir?

Seharusnya cinta itu tidak pernah begini rumit.
Tapi aku begitu menginginkanmu sehingga batas antara rasa percaya dan enggan kehilangan itu menyempit.
Karena bagimu tidak pernah sulit,
membuatku bahagia hingga nafasku terhimpit.

Tidakkah ini menyebalkan?
Aku ingin menjagamu dengan tidak berlebihan.
Aku ingin membatasi pikiran dan kepekaan,
dengan tidak menjadikan aku buta oleh kepercayaan.

Hanya saja ada banyak waktu ketika aku menatapmu dengan penuh ragu.
Meskipun pada akhirnya tatapmu yang sayu,
membuat kataku menjadi semu. Membuat lidahku menjadi kelu.
Membuat raguku membisu. Membuat ragaku membatu.
Risauku membeku.
Galauku terhalau.

Ada banyak hal di kepalaku,
pertanyaan yang menjelma menjadi lagu.
Bukan hanya apa kamu begini dan begitu, meskipun semuanya memang tentang ragu.
Apakah aku yang terlalu lugu,
atau matamu terlampau hebat dalam menghilangkan segala risau dan ragu?

Ada banyak waktu ketika aku menatapmu dengan penuh ragu,
dan aku hanya tidak mau lagi meracau sendu.

---

Jika pada akhirnya kamu (atau malah aku) harus berhadapan dengan penyesalan, seperti kesalahan kemarin yang membawa kita ke awal. 
Jika pada akhirnya terjadi, satu kali lagi.
Mungkin aku akan bertemu hari yang demi Tuhan, tidak aku inginkan, aku sebenarnya tidak pernah ingin mendapati diriku telah membencimu.

Kamu, ataupun aku, bisa saja meminta maaf seribu kali.
Aku pun mengutarakannya padamu, bahwa, untuk kesalahan semacam ini, aku siap kautinggalkan. Tapi demi Tuhan, aku tak akan pernah siap untuk menjadi seseorang yang harus berbalik membenci kamu. 

Aku yakin, aku telah jatuh pada cinta yang baik, maka aku ingin jatuh selamanya.
Jaga ya.

F.

#12, Mantan

Label: , ,

Hai, Kamu.
Jangan dulu mengerenyitkan alis matamu ketika membaca tulisan ini.
Coba benarkan dulu posisi kacamata hitammu yang minus tiga perempat itu.
Aku hanya ingin menulis tentang;
andai kamu jadi mantan pacarku nanti.

Andai kamu jadi mantan pacarku nanti,
aku masih akan tetap membangunkanmu setiap pagi.
Andai kamu jadi mantan pacarku nanti,
aku masih akan menjadi orang terakhir yang mengucapkan selamat malam untukmu.
Andai kamu jadi mantan pacarku nanti,
aku masih akan mengajakmu ke tempat-tempat yang mempunyai arti penting untuk kita.
Andai kamu jadi mantan pacarku nanti,
aku masih akan terus membisikkan sayang di telingamu.
Andai kamu jadi mantan pacarku nanti,
aku masih akan terus merengek meminta pundakmu untuk bersandar.

Dan seandainya kamu jadi mantan pacarku nanti,
tentu saja karena kamu bukan lagi jadi pacarku, tapi menjadi seseorang yang sudah memakai cincin yang sama denganku di jari manis kirinya.
Dan seandainya kamu jadi mantan pacarku nanti,
tentu saja kamu bukan lagi pacarku, karena aku juga memiliki nama belakangmu.

Ya, seandainya kamu jadi suamiku nanti,
boleh kan aku tetap seterusnya jatuh mencinta kamu seperti bocah SMA yang baru pertama mencinta? :)

#11, Hujan.

Label: ,

'Kenapa kamu suka hujan, Ra?'
Aku masih mengingat pertanyaan itu, yang kamu lontarkan ketika rambutmu masih bau matahari.
Ketika warna abu-abu celana seragammu, sama abu-abunya dengan warna rok pendekku.

'Kenapa? Haruskah ada kenapa?'
Aku tergelak, dan sejurus kemudian menjawab, '...hujan itu jatuh dari langit. Kenapa aku menyukai hujan? Alasannya seperti kenapa aku jatuh dan mencinta kamu, haruskah ada alasan?'
Aku menghela nafas panjang, '...pun ada alasan, alasan itu tidak akan menjadi alasan yang akan membuatku meninggalkanmu ketika alasan itu hilang.'

Kamu terdiam. Aku sendiri enggan mengatakan apapun lagi.
Bersama kamu, dalam diam pun rasanya nyaman.

Kamu menggenggam tanganku pelan dan mengajakku berlarian di tengah derasnya hujan.

Hey bodoh,
Tuhan menurunkan hujan sama seperti bagaimana Dia menakdirkan cinta yang jatuh pada seseorang.
Dia menciptakannya tanpa rumus dan formula.
Mungkin manusia sajalah yang seenaknya memutuskan mengapa mencinta, jadi suka karena begini dan jatuh sayang karena begitu.

'Aku menyukaimu seperti aku menyukai hujan...'

Ini niiiiih...

Sabtu, 22 Oktober 2011 Label: ,


Ini niiiiih....
Iman Muhamad Ramadhan.

'My Chef'-nya aku.
Yang bilang aku Healing Princess-nya dia.
Aymen-nya aku.
Tanggal 3 dan Februari-nya aku.

Ini niiiiih....
The person I love to act stupid with.
Orang paling nyebelin gila.
Yang centil parah demi bikin aku manyun-manyun kesel.
Yang seneng banget gandeng tangan aku kayak lagi bawa monyet.
Yang doyan banget ngetekin aku.
Yang hobi ngupil-ngupil pake jari aku sampe aku ngamuk.
Yang paling seneng nanya, "Kamu pacarnya siapa?"
Yang suka belagak sewot bilang, "Ngapain pegang-pegang?" kalo aku otak-atik tangannya.
Yang suka ngajakin salam jidat.

Ini niiiiih....
Yang pertama deket sama keluarga aku.
Yang pertama masakin aku sesuatu.
Yang pertama aku masakin sesuatu.
Yang pertama ngajak aku surat-suratan via kantor pos.
Yang pertama ngajak aku sepedaan.
Yang pertama ngasih dan aku kasih surprise waktu ulang tahun.
Yang pertama ngajarin aku kalo sayang itu gak bakal kalah sama jarak <3

Ini niiiiih....
Yang jadi alesan kenapa Mama aku sampe pernah bengong nanya, "Teteh ngapain di dapur?!"
Yang pertama Mama aku suruh panggil "Mamih", kayak aku.
Yang pertama sering Mama aku tanyain.
Yang pertama coba masakannya Mama aku.
Yang pertama kayak gini, pokoknya cuma kamu.

Amit-amit kalo harus ada orang lain yang bakal milikin kamu nanti, kecuali aku. :p

Cepet pulang lagi ya, Aymen.
Masih pengen take banyak foto-foto konyol close up :p

#10, Hadiah.

Label:

"Kenapa sih sayang sama aku? Apa coba yang kamu suka dari aku?"
Pertanyaan khas kamu.

Apa?
Memangnya kamu ingin aku jawab apa?
Apa yang membuatku sayang?
Ah, salahkan Tuhan dan rencana-rencana misteriusnya.

Tanya diri kamu sendiri saja lah,
kenapa bisa terlihat terlalu spesial di mataku, tak ubahnya mencuri satu ruang pandang di dalamnya.

Yah, tanpa diikat pita dan dibungkus kertas kado pun, kamu sudah menjadi hadiah paling istimewa yang Tuhan kirim untuk aku <3

Life's turning.

Label: ,

"Iya udah lah, aku bakal lupain dia."

Ah, kalimat itu. Lagi.
Aku tersenyum sarkastis, menatap sosok wanita di depanku itu tepat di matanya.
Ia nampak gelagapan.
Ya, menatap tepat di mata itu bisa menjadi sumber kekuatan satu orang saat berbicara tapi bisa juga melemahkan yang lainnya.
Tapi juga merupakan detektor terbaik untuk memastikan apakah sebuah pembicaraan adalah bohong atau benar.

Melupakan.
Ah, mengapa hidup lagi-lagi harus tentang melupakan?

"Aku tidak memintamu melupakannya.
Pun aku memintamu, aku yakin kamu tidak akan pernah bisa."
Ujarku dengan tegas.

"Bisa. Aku bakal berusaha buat lupain dia."
Jawabnya lagi, terdengar terlalu konyol di telingaku.

Berusaha, katanya.
Mengusahakan sesuatu yang sebenarnya tidak patut untuk diusahakan.
Tidakkah di saat proses berusaha itu justru kita malah akan terus berpikir?
Tidakkah memberi otak kita beban dan tekanan untuk 'harus lupa' itu justru memberikan otak kita ruang tambahan untuk sesuatu yang harus kita lupakan tersebut?

"Aku tidak seharusnya memikirkan tentang dia lagi kan..."
Ia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kamu hebat, Fay. You've survived. Gimana caranya?"

Aku terdiam sejenak, menerawang ke depan, dan mencoba membayangkan.
"What always happens? Life. Jalani ajalah, Ras... apa lagi yang bisa aku lakukan waktu itu selain ya... menjalani apa yang sudah seharusnya kujalani."
Aku menatapnya yang nampak enggan menatap mataku langsung.

"I should forget... everything. Just... everything."
Gumamnya pelan. 

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku pelan, "Tapi itu artinya kamu harus siap buat lupa sama pengalaman dan pelajaran yang sudah mendewasakan kamu sekarang ini."

Aku menghela nafas panjang sampai akhirnya melanjutkan,
"God sent us the wrong person before He sends us the right one. This is how life's turning. Gimanapun juga, mungkin Tuhan sengaja membuat kita sebaik mungkin sampai akhirnya kita pantas bertemu dengan yang terbaik."
Aku tersenyum, dan menepuk pundaknya pelan, "Cheer up."

Dan akhirnya, ia menatap mataku, "Semoga ya, Fay. Thanks a lot."




*Didedikasikan buat teman-temanku yang baru mengalami sindrom putus cinta, semoga ditabahkan dan tambah kuat. God's plan is better than your ex! LOL JK. Keep your chin up because you will never know if someone is falling in love with your smile... :p

#8, Pesanmu.

Sabtu, 15 Oktober 2011 Label:

To: Diana
Sayang, aku ke rumahmu sekarang.

From: Diana
Ngapain? Aku di kantormu kok. 

To: Diana
Oh ya? Kamu dimana? 

"Hai."
Suara wanita yang sudah mengakrabi telingaku selama 2 tahun terakhir itu terdengar dari belakangku. Aku menoleh dan, iya, dia. 

"Kamu... kenapa gak bilang dulu mau kesini sih?"
Aku mengacak-acak rambutnya yang memang sudah berantakan. Khas dia, tidak pernah terlihat serapi wanita-wanita di ibukota lainnya, tapi tampak selalu cantik di mataku.

"Surprise! Hehehe, tadinya aku telfon kamu mau ngasih tau, tapi ya..." 
Tululut....

Suara handphone-ku terdengar nyaring, tanda ada telepon masuk. Aku melihat layar handphone-ku dan tertegun. Dia. Tapi gak mungkin dia meneleponku sekarang.

"Se... sebentar, Di." 
Aku menatapnya bingung, dan menjauh sebentar. 

"Tunggu, San." Tangan kekasihku itu terasa dingin menyentuh kulitku. Aku terhenyak, masih dengan telepon berbunyi di tanganku. 

"Kenapa, Di?" Tanyaku heran. 
"Aku... sayang kamu. Maafin aku ya." Ia melepaskan genggaman tangannya dan tersenyum lembut, tapi entah kenapa aku merasa ia tampak jauh.

"Akupun jelas sayang kamu juga. Kenapa minta maaf? Sebentar, tunggu aku disini jangan kemana-mana." 
Aku mengecup keningnya pelan dan berlalu pergi. Aku menatap layar handphoneku.

Diana calling...

Ini tidak mungkin, dia pasti bercanda. Aku mengangkat handphoneku dan... 
"Hai Sayang! Aku on the way ke kantormu ya, mau ngajak kamu lunch nih hehehe jarang-jarang aku dapet izin keluar siang nih. Bentar ya tungguin ak..."
CKIIIIT! BRAK!
"Diana...?"
Tut... tut... tut... telepon terputus. Terakhir tadi terdengar suara mobil tertabrak. Diana...?

Tiba-tiba ponselku berbunyi lagi. Pesan.
From: Diana
Maaf, apakah Anda mengenal pemilik handphone ini?
Nomor Anda ada di panggilan terakhirnya, harap sekarang menuju ke Rumah Sakit sekarang juga.

Jantungku seolah berhenti berdetak.
Yang aku tahu setelah itu hanyalah gelap.

#5, Hilang

Label:

Mungkin rasanya seperti melangkah tertatih di atas seutas tali.
Mungkin seperti berpegangan pada tiada.
Mungkin seperti bertahan pada sesuatu yang rapuh.
Mungkin seperti dibiarkan hidup tanpa jiwa dan nyawa.
Mungkin seperti berjalan terseok-seok dengan sebelah kaki.
Mungkin seperti merobek garis bibir dan mengenakan penjepit agar ia melengkung ke atas.
Mungkin seperti mencoba terjaga selamanya.
Mungkin seperti mencoba menggenggam angin.
Mungkin seperti mendamba munculnya pelangi di malam hari.
Mungkin seperti melahap makanan tanpa hasrat.
Mungkin seperti mata yang menatap tapi tak melihat.
Mungkin seperti kulit yang meraba tapi tak merasa.
Mungkin seperti jantung yang bekerja tapi tak berdetak.
Mungkin seperti bibir yang bergerak tapi tak bersuara.
Mungkin seperti hati yang memiliki eksistensi tapi mati.

...mungkin seperti itu rasanya, jika kamu hilang.

#3, Perkenalan.

Senin, 03 Oktober 2011 Label: ,

"Kamu terlihat baik."

Sosok di depanku itu bergumam sambil menatapku dengan tatapan rindu.
Meskipun tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, aku merasa mengenalnya dengan baik.
Dan entah kenapa, ia nampak begitu lelah dan kepayahan.

"Lama tidak bertemu."
Ujarnya lagi.
Aku masih berusaha mengingat, tapi semua ruang dalam ingatanku tak juga memunculkan apapun tentang sosok di depanku ini.

Dengan tergugup, aku berusaha bertanya dengan menyembunyikan nada ragu dalam kalimatku,
"Kamu... siapa? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Aku merasa... familiar."
Tanyaku, perlahan.

Sosok itu menghela nafas panjang, kemudian mendengus pelan sesaat sesudahnya. 
"Apa yang kamu pikirkan dari sosok aku? Lihat diriku, dan katakan apapun yang ada di kepalamu."
Suaranya terdengar tenang, tapi menyimpan kegetiran.

Ragu, aku mengamati sosoknya. Meskipun wajahnya masih juga tidak terlihat jelas.
Sosok yang nampak begitu lelah, seolah telah dipaksa untuk melakukan berbagai macam hal yang tak seharusnya. Seolah telah menanggung ribuan beban berat.
Iba, perasaan yang pertama melintas di hatiku begitu usai mengamatinya.

"Kamu nampak kepayahan. Seperti tersiksa, seolah dihantam dengan berbagai tekanan yang tak diinginkan. Seperti terpaksa, seperti tak hidup. Aku... aku iba melihatmu."
Jawabku, sejujur-jujurnya.

Lagi, sosok itu mendengus pelan.
Kemudian, ia bergerak mendekatiku, mengulurkan tangannya ke daguku dan mengangkat wajahku. Takut, aku memejamkan mata. Tanpa melihat pun aku sudah dapat membayangkan semenyeramkan apa wajahnya.

"Kalau kamu merasa iba, berhentilah menyiksaku. Berhenti, atau kau akan menjadi aku." Ucapnya.
Perlahan, aku membuka mataku, dan aku tertegun.

Sosok itu... aku.

"Hai. Salam kenal, Aku."



Berhentilah membuat dirimu sendiri kepayahan. Berhentilah menghantam dirimu sendiri dengan berbagai tekanan yang tak dirimu inginkan. Berhentilah memaksa dirimu menjadi apa yang tidak dirimu inginkan. :)

#2, Malam Minggu

Label: , ,

"Loh, kamu? Sama siapa kesini?"

Adalah rak buku, jabat tangan kaku, dan senyummu di hari Sabtu.
Jawaban yang langsung membusungkan dirinya sendiri jika kau tanya ingatanku,
apa hal pertama yang aku ingat tentang bagaimana aku jatuh dan mencinta kamu.

 "Oh, enggak. Sama orang tua kok, tuh disana."

Suaramu. Gelak tawamu.
Dan gaya bicara khas kamu yang bahkan temanku bilang lucu.
Jawaban yang langsung melintas jika kau tanya ingatanku,
apa hal yang mampu membuatku tertawa geli sewaktu mengingat kamu.

Malam minggu ketiga di 2011. 
Hai rak buku 'Psikologi', ceritakan pada mereka bagaimana sekumpulan pasukan kupu-kupu tiba-tiba memutuskan untuk berkeliaran di perutku sampai pukul satu malam itu.
Sampai Sabtu berubah menjadi Minggu hanya dalam sekejap waktu.

"Aku senang hari ini, terima kasih."
"Aku pun, terima kasih."
Malam minggu kelima di 2011. 
Jangan tanya aku bagaimana waktu melintas begitu cepat ketika perasaan bertumbuh dengan pesat.

Tanyakan saja pada malam minggu ketiga di 2011. :)

Rencana #15harimenulisblog

Label:

Hai Blog, di Twitter ada mainan seru yang diadain sama account @hurufkecil & temennya, yaitu #15harimenulisblog. Jadi sejak 4 hari yang lalu, orang-orang kembali Blogging dengan posting hal-hal bertema apapun yang diberikan oleh @hurufkecil, yang beda-beda tiap harinya.

Karena internet aku baru balik hari ini, aku jadi baru bisa ikut mulai tema besok, hari ke-#5, tapi insya Allah mau ikut iseng mengusung tema hari-hari sebelumnya juga hehe :D

Tema hari pertama aku skip aja dah, berasa tabu nulis postingan tentang itu mehe, meskipun postingannya bebas mau cerpen, lagu, puisi, atau apapun, tetep aja merasa tabu setelah liat satu postingan Blogger yang join mainan ini :))

Tema hari kedua, malam minggu.
Tema hari ketiga, perkenalan.
Tema hari keempat, timeline.

Dan besok hari kelima dan seterusnya, insya Allah mau partisipasi hehehe. Okay deh itu baru rencana doang, semoga kesampean. Bye Bloggie!