Sesekali Lupa

Jumat, 13 Juli 2012 Label: ,



Picture from this site.

Boleh kan, aku sesekali lupa?
Lupa pada luka yang pernah kamu simpan begitu dalamnya.
Lupa pada bagian diriku yang pernah berusaha membencimu begitu rupa.

Tak apa, kau bilang. 
Terkadang dua orang yang pernah bersama memang selalu saling ingat.
Saling ingat untuk saling melupakan, dan melihat siapa yang terlihat paling kuat. 

Seperti aku, seperti kamu.

Tapi boleh kan, aku sesekali lupa?
Aku ingin memelukmu tanpa mengingat kamu pernah memalsukan sayang dengan kehangatan yang sama.
Aku ingin menggenggam tanganmu tanpa mengingat kamu pernah menggenggam harapan semu untukku dengan tangan yang sama.
Aku ingin tertidur di pundakmu tanpa mengingat kamu pernah menyandarkan semua beban padaku dengan kekuatan yang sama.

Aku ingin ingat kamu pernah menjadi tempat ternyaman untuk aku tinggal.
Karena kamu adalah apa yang pernah, masih, dan selalu.

Hanya saja selalu ada aroma kenangan yang menyengat ketika kita bersama dalam diam. 
sudah, yang pergi tak perlu kembali. luka yang pulih tak usah memerih, meskipun ia boleh memilih.  

Dinding luka ini seolah menebal setiap aku merasa semakin menginginkanmu. 
Seolah melarangku menyusup semakin jauh,
karena sejauh apapun aku pergi, aku selalu mampu jatuh padamu lagi.
Seperti matahari memberi rasa yang tanpa tendensi,
aku terjatuh padamu bagai bumi yang memiliki gravitasi. 

Ah,
kalau saja cinta tidak bisa jatuh pada satu orang yang sama berulang-ulang. 

Bagaimana Jika

Label:

Kamu tidak berubah, masih sama
matamu
senyummu
gerakan tanganmu sewaktu berbicara
kerutan di dahimu sewaktu kebingungan

Bagaimana jika kukatakan
bahwa aku merindu?
Bagaimana jika kukatakan
bahwa aku ingin menarikmu
ke dalam pelukan
kembali pada ingatan
membawamu tenggelam pelan-pelan
sampai ke dasar
supaya terlihat bahwa aku (masih) mencintaimu

tidak jauh berbeda dengan dahulu
hanya saja kali ini jumlahnya lebih besar
keberadaannya lebih dalam
lebih mampu memilih bersembunyi dalam diam

Ah sudahlah
Kamu boleh pergi sekarang
Sampaikan salamku untuk kekasihmu
Dia menunggu di bawah

Kita Adalah Sisa-Sisa Keikhlasan yang Tak Diikhlaskan

Label: , ,





Picture from this site.


Dua cangkir kopi.
Satu sedang diaduk perlahan searah jarum jam,
satu diaduk dengan arah sebaliknya. 

"Aduk kopi itu harus searah jarum jam." 
Kata Lelaki itu, sambil tersenyum ke arah perempuan di hadapannya. 

"Emang ngaruh?"
Perempuan itu tertawa pelan sambil tetap bersikeras dengan adukan kopi yang seperti biasanya ia lakukan, berlawanan arah jarum jam.

"Ngaruh, lah. Jadinya lebih kental." 
Jawabnya sambil langsung meminum kopi hasil adukannya tersebut. 

Perempuan itu mengangguk-anggukan kepalanya dan mengikuti saran sosok lelaki di hadapannya itu, lelaki yang sudah lama ia cintai dengan begitu rupa. 

"Gimana keadaan kamu? Udah mendingan?" 

Perempuan itu tertegun sejenak sebelum menjawab, "Lumayan. Yang masih sakit itu disini." Perempuan itu membuat gestur seolah ia sedang menunjuk hatinya, dan sejurus kemudian mereka berdua tertawa.

"Mmm.. ngomong-ngomong, gimana keadaan dia?" Lanjut Perempuan itu setelah hening kembali menyergap di antara mereka berdua.

Lelaki itu memainkan ponselnya, menulis pesan untuk seseorang. 
"Udah mendingan sih. Aku tadinya ada rencana mau ke luar kota, cuma selama dia masih sakit gitu aku gak tenang.."

Perempuan itu berusaha mengabaikan satu hentakan kecil di hatinya yang entah karena apa.
Mungkin karena perasaan cemas yang Lelaki itu miliki untuk 'dia', menunjukkan bahwa rasa sayang itu masih ada. 

"...kamu masih sayang dia." Ujarnya, spontan. Membuat sosok lelaki di hadapannya itu berhenti mengetikkan sesuatu di ponsel.

"Aku harus pergi." Kata Lelaki itu, tanpa menjawab ucapan si Perempuan. "Dia memintaku datang ke rumahnya."

Perempuan itu berdiri dan menghampiri sosok Lelaki yang teramat ia cinta dengan segala luka dan pinta. Lelaki yang ia beri segudang harap, lelaki yang telah membuatnya berhenti membuat ribuan kemungkinan karena dia telah menghilangkan jutaan kepastian.

Lelaki itu memeluknya, lalu mengecup keningnya perlahan. "Maaf."
Dan dia berlalu pergi, begitu saja.

Perempuan itu pun kembali pada kesendiriannya,
pada ketidak-utuhannya.
Menggenggam dua cangkir kopi yang baru saja tadi melakukan sebuah percakapan hangat, namun kini berlalu meninggalkan sepi.


"Kita adalah sisa-sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan
Bertiup tak berarah, berarah ke ketiadaan."
 
Payung Teduh - Kita Adalah Sisa-Sisa Keikhlasan yang Tak Diikhlaskan

Saya Lupa

Kamis, 12 Juli 2012 Label: ,

Saya sudah sepenuhnya melupakan kamu.

Melupakan wajahmu, bentuk matamu, caramu menatap, caramu berbicara, suaramu yang tidak terdengar berat, kumis tipismu, dan gaya rambutmu yang begitu-begitu saja.

Saya sudah sepenuhnya melupakan kamu.

Melupakan kebiasaan-kebiasaan kecilmu, makanan favoritmu, minuman favoritmu, cara makanmu yang lambat, caramu menyeduh kopi dengan mengaduknya searah jarum jam, caramu meminum kopi ataupun teh secepat mungkin sebelum mendingin.

Saya sudah sepenuhnya melupakan kamu.

Melupakan hal-hal yang kamu lakukan ketika sedang merasa kesal, hal yang kamu lakukan ketika sedang senang, kamu yang sangat senang berbicara, dan kamu yang terkadang lebih mengurusi orang lain daripada dirimu sendiri. 

Saya sudah sepenuhnya melupakan kamu.

Melupakan genre film yang kamu suka, dan kamu yang lebih suka tidak banyak berbicara ketika sedang menonton di bioskop, tapi terkadang malah berbicara lebih banyak dariku karena menurutmu berbicara denganku menyenangkan.

Saya sudah sepenuhnya melupakan kamu.

Melupakan musik yang kamu dengarkan, dan selera musikmu yang tidak jauh berbeda dariku. Hanya saja kamu lebih bisa menerima musik yang menurutku terlalu cepat, terlalu lambat, terlalu berisik, atau terlalu menye-menye.

Saya sudah sepenuhnya melupakan kamu.

Saya sudah sepenuhnya (lupa bahwa saya sudah) melupakan kamu.

Lagi-lagi CIN(T)A

Label: ,


Picture from this site. 

22.00 WIB

"Saya sayang kamu, demi Tuhan saya sayang kamu.."

"Kamu bersumpah demi Tuhanku atau Tuhanmu?"


---

13.00 WIB

"Hei, nunggu lama ya?"

Sosok perempuan cantik itu menggelengkan kepalanya pelan, "Gak apa-apa, kamu kan harus ibadah dulu."

"Kita makan disini, atau...?"

"Di rumahku saja, Mamaku pasti masak makanan spesial tiap aku pulang."

15.45 WIB

"Jadi, pekerjaanmu apa, Nak?"

"Saya bekerja di sebuah stasiun televisi, Om.."

"Oh ya? Sudah berapa lama?"

"3 tahunan kira-kira.."

Lelaki berkumis tebal itu menganggukkan kepalanya dan menoleh ke arah istrinya, "Bu, makanannya sudah siap kan?"

"Iya, yuk semuanya makan dulu. Jo, ajaklah pacarmu kemari, kalian pasti belum makan, kan?"

"Iya, Ma.. ayo, Ris, ikut aku ke belakang. Masakan Mamaku enak banget!"

"Err.. saya mau shalat dulu, Tante.."

"Rishad, agamamu apa?"

19.00 WIB

"Kalau sejak awal tahu bakal seperti ini, seharusnya kamu tidak usah memintaku untuk melanjutkan hubungan kita!"

"Pindahlah ke agamaku, Jo."

"Harusnya aku sadar, sejak awal hubungan kita mustahil, Ris."

18.00 WIB

"Maafkan kedua orangtuaku, Ris."

"Santai aja, we'll make this work. Dari awal hubungan kita juga aku tahu bakal ada hari seperti ini."

Perempuan itu bersandar di bahu lelakinya, mengisyaratkan semua rasa sayang yang luar biasa besarnya, "Tapi kalau kita menikah nanti.."

"...kamu ngomong apa?"

"Kamu tidak membayangkan jika seandainya nanti kita menikah?"

"Itu masih lama sekali, Jo.."

"Lalu? Kamu punya kemungkinan kita akan berpisah, begitu?"

"Kita berbeda, Jo."

"Itu memang sudah jelas, sejak awal. Tapi kenapa baru sekarang...?"

"Kamu gak tahu, Jo. Saya selalu membayangkan shalat berjamaah dengan istri dan anak-anak saya kelak..."

---

24.00 WIB

"Aku ingin memeluk kamu, perkara memeluk agama bukan pilihanku, Ris."

Percakapan di Halte

Label:


Picture from this site.

 Kamu aneh.

"Sini sini duduk sebelah aku." 

Pukul 8 malam, dan kamu malah mengajakku duduk di sebuah halte di tengah kota. 

"Kan lucu, kayak orang jaman dulu yang pacaran di halte." Lanjutmu, polos.

Aku terdiam sesaat sebelum mengambil tempat di sebelah kamu, "Emang kita pacaran?"

Kamu menatapku pelan, "Aku kan tadi bilang orang jaman dulu."


"Ini minum buat kamu." 

Kamu dan cara berjalanmu yang khas, menyerahkan segelas teh hangat untukku yang kamu ambil dari warung sebelah halte. 

"Thanks." Aku menyesap tehku yang ternyata masih terlalu panas. "Aw." 

Aku tidak jadi meminum tehku dan memilih untuk memperhatikan wajahmu dari samping.
Kamu yang sedang meminum teh hangat yang seperti memberikan kamu ketenangan.

Kamu, 
seandainya kamu tahu, kehadiran kamu itu jauh lebih menenangkan daripada segelas teh hangat ini. 

"Kok gak diminum?"

"Masih panas."

"Kirain kamu cuma suka kopi. Kamu suka teh kan?"  

Aku mengangguk, "Suka, kok." 
Tapi aku lebih suka memperhatikan kamu. 

"Sebenarnya.. kita ini apa?" Lanjutku, perlahan, dengan penuh keraguan.

"Aku nyaman sama kamu." 

"Aku juga.. lalu?" 

"Entahlah.. aku suka menghabiskan waktu dengan kamu." 

"Hanya itu?"

"Sudahlah, jangan dibahas." 

"Aku seperti menemukan orang yang tepat di waktu yang salah."

"Cinta itu irrasional, Fa.."

Aku terdiam dan menatap ke arah jalanan dan beberapa mobil yang melintas di depan kita. 

"Kamu mau pulang?" Tanyamu tiba-tiba.

Aku menggelengkan kepalaku, "Santai aja, teh aku belum habis."

"Masih panas ya emang?" 

"Lumayan sih..." Aku meniup tehku pelan-pelan.

Kamu meraih gelas dari tanganku, "Jangan ditiup, jelek tau.. nanti udara bekas dari badan kamu malah nempel ke teh ini.."

"Buat kamu aja deh tehnya. Masih mau ya?" 

"Loh? Kamu gak mau?"

Aku menggelengkan kepalaku, "Lagi gak mood." 
Dan aku lebih suka memperhatikan sosok kamu. 

"Ya udah, habis ini aku anter kamu pulang ya." Kamu mengelus kepalaku pelan dan aku mengangguk. 

Kamu meminum setengah dari tehku dan mengantarkannya kembali ke warung di sebelah halte. Aku menatap sosokmu dari belakang dan aku tahu, degupan di jantungku mempunyai ritma berbeda untuk kamu.

Ya, aku mencintai kamu. Dan aku tidak pernah secinta ini pada siapapun.

"Pulang sekarang?" 

Tempat dimana aku tidak bersama kamu tidak bisa dikatakan tempatku pulang.

"Udah jam berapa sih ini emangnya? Malam ya?"

Menyebalkan sekali bagaimana waktu tidak pernah berjalan sebrengsek ini cepatnya jika aku tidak bersama kamu.

"Udah mau jam 9, aku antar kamu ya."

Ini bukan kisah Cinderella dan pangerannya yang dipisahkan oleh tengah malam dan dengan mudahnya dapat dipertemukan kembali lalu bahagia selama-lamanya.

Tuhan memberiku jarak dengan kamu yang dinamakan realita.
Dan jika tentang kamu, Tuhan seolah tidak memberiku pilihan lain selain mengikhlaskan.