Sore ini aku kedapatan diriku tercenung menatap layar ponsel. Sebenarnya kalimatmu mesra, tapi kosong.
Kamu tidak pernah seperti ini.
Aku mengenalmu lebih dari hitungan hari, dan meskipun terlihat mesra,
aku tahu ada sesuatu yang salah.
Karena aku mengenalmu lebih dari hitungan hari.
"Ada apa?"
Tanyaku. Tidak ada yang salah, katamu.
Tapi aku tahu, pasti ada yang salah.
Malam ini aku menelan kata-kataku sendiri,
malam ini aku menenggak racun yang kusebar sendiri.
"Sejak kapan cinta berubah dari peluk erat jadi perang urat?"
Itu kataku, dulu. Melihat dua orang yang saling menyayangi tiba-tiba berubah saling memaki benci.
Aku tercenung mendengar suaramu di ujung sana,
sebenarnya tidak harus ada tangis. Ini hanyalah kerikil kecil.
Bahkan aku memiliki tangan-tangan Tuhan, malaikat-malaikat tak bersayap yang bersedia bertanya, "Ada apa?"
Tapi aku tidak tahu,
kerikil-kerikil kecil ini membuat kakiku berdarah,
aku hanya ingin meraung sekeras mungkin.
Benarkah aku sedang berbicara dengan kamu yang selalu membuatku aman di genggaman tanganmu?
Benarkah ini kamu yang pernah memberiku peluk erat, membuatku seolah pulang ke rumah paling nyaman di muka bumi ini?
Benarkah ini kamu yang selalu tersenyum teduh menghilangkan gundah... seberat apapun itu?
Benarkah ini kamu yang selalu menguatkan aku?
Benarkah ini kamu?
Mungkin karena rindu yang terlalu, aku lupa, bukan cuma aku yang merasa pilu.
Aku lupa kamu pun mempunyai keluh.
Ya, Sayang, aku minta maaf.
Mungkin karena rindu yang berdesakkan di tenggorokanku. Dan bergulir ke mataku mengalir menjadi air.
Aku tercekat dan tersesak. Raung tangis ini karena kamu, tapi bukan karena salahmu.
Ya, Sayang, aku minta maaf.
Mungkin kali ini rindu seperti menjelma menjadi sesuatu yang lain.
Karena aku kini merindu seperti tidak pernah serindu ini sebelumnya.
Mungkin rinduku kali ini menjelma menjadi sebesar matahari.
Menggumpal menyesakkan di dalam dada, terkadang terasa hangat, tapi kali ini terasa panas menyakitkan.
Mungkin rinduku kali ini menjadi gemericik hujan.
Datang begitu saja menyerbu teras rumahku, tanpa mengetuk pintu.
Tanpa aba-aba tiga dua satu.
Terkadang membuatku nyaman dan tenang,
terkadang rindu ini juga membuatku menggigil kedinginan.
Mungkin rinduku kali ini menjelma jadi kerikil-kerikil kecil,
yang membuat kita lupa bahwa kita pernah saling memeluk erat seperti enggan kehilangan.
Ah, Sayang.
Jika kita meninggalkan ego saat berpelukan,
mengapa kita tidak mencoba meninggalkan ego juga disaat kita ber-pelik-an?
Mungkin masalah ini pelik, tapi kamu seharusnya pernah sehangat peluk.
Ya, Sayang, aku minta maaf.
Aku tidak ingin menyerah pada rindu, dan membiarkan waktu menertawakanku.
Aku tidak ingin menyerah pada rindu, dan membiarkan waktu menertawakanku.
Tidak juga pada jarak, dan membiarkan waktu terbahak-bahak.
Biarkan mereka tetap melihat kita saling bergandengan tangan,
erat, tapi tidak mencengkram.
Ringan, tapi tidak mungkin terlepas :)
erat, tapi tidak mencengkram.
Ringan, tapi tidak mungkin terlepas :)
0 komentar:
Posting Komentar